Berbicara soal kuliner ada satu sosok yang tersohor pada masa abad pertengahan Islam di Ibukota Baghdad, Irak yaitu siapa lagi kalau bukan Ibnu Sayyar al-Waraq. Ia dikenal dengan julukan al-waraq yang banyak membukukan resep-resep hasil karyanya dalam sebuah buku yang berjudul Kitab at-Tabikh wa Islah al-Aqhdiyah al-Ma’kulat.
Tidak banyak riwayat yang menjabarkan sosok ini. Namun diketahui ia meninggal dunia pada 961 M. Sebagian besar hidupnya dihabiskan di ibu kota Baghdad. Keahliannya dalam bidang masak-memasak menjadikan Ibnu Sayyar dipercaya sebagai koki di Istana. Ia banyak bereksperimen dalam menciptakan resep baru atau memperkaya cita raya dan aroma dari masakan yang telah ada.
Pada suatu hari, Saif al-Dawlah al-Hamdani, seorang bangsawan dari Aleppo, Suriah, memintanya menyusun sebuah buku masakan. Tak hanya berisi resep-resep buatannya, akan tetapi mencakup beragam aspek tradisi kuliner Islam. Hingga akhirnya, muncullah kitab at-Tabikh.
Buku yang ditulis pada 950 M ini berisi aneka masakan dan minuman dibahas secara detail. Dari menu daging panggang, kue, telur, sayuran, saus, pasta, gorengan, pudding, minuman panas, susu, hingga buah-buahan. Begitu pula bagian yang khusus mengupas bumbu, bahan masakan, aroma masakan, dan teknik memasak. Ia pun mengenalkan adab di meja makan serta mempersiapkan jamuan dan perlengkapan dapur. Sehingga banyak kalangan yang menjadikan buku tersebut sebagai sumber rujukan masakan dari abad ke-9 hingga ke-10 M.
Menurut Ibnu Sayyar yang lebih penting ditekankan adalah setiap masakan yang dibuat harus sesuai dengan kriteria sebagai makanan yang sehat dan halal serta sesuai tuntunan agama Islam. Ibnu Sayyar mengatakan, sebelum memasak hendaknya memperhatikan perkataan ahli gizi dan kesehatan. Hal ini dilakukan agar masakan yang kelak dihidangkan mengandung nilai gizi tinggi. Di samping itu, hal yang harus dipenuhi adalah jaminan kehalalan bahan makanan yang digunakan.
Penerjemah Kitab at-Tabikh, Nawal Nasrallah mengatakan, manuskrip ini merupakan kitab resep masakan paling komprehensif. Dalam buku setebal 455 halaman itu, terdapat sekitar 600 resep masakan. Menurutnya deretan resep tersebut menjadi bukti kegemilangan tradisi kuliner di dunia Islam.
Buku Ibnu Sayyar tak hanya bermanfaat untuk mengetahui warisan kuliner umat Islam. Melalui buku ini, diketahi pula kondisi sosial ekonomi masyarakat pada era itu, demikian uraian sejarawan Barat, Peter Heine.
Jurnal ini menyebut bahwa Ibnu Sayyar berhasil menjelaskan secara perinci aspek masakan pada masa kekhalifahan. Mulai dari perspektif budaya, bahasa, sejarah, sampai medis. Jeanine Young-Mason dalam jurnal Nursing and the Arts mengatakan, buku Ibnu Sayyar juga melestarikan konsep makanan sebagai penyembuh dari ilmuwan Yunani, Galen.
Buku ini diterbitkan dalam versi aslinya dan dimuat di Studia Orientalia Volume 60 dengan editor Kaj Ohrnberg dan Sahban Mroueh. Charles Perry dai Universitas Princeton menerjemahkan beberapa bab buku itu ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1980-an. Menurut dia, keseluruhan karya ini terdiri atas tiga manuskrip.
Sumber: Republika,Jum’at 8 Oktober 2010 hal.24